Reggae jadi mendunia karena satu orang yang bernama Bob Marley. Para
duta besar regage berebut memberi label atau penghargaan kepada Bob
Marley. Dari tangan cowok blasteran ini lahirlah hits klasik seperti No
Woman No Cry, I Shot the Sheriff, dan Waiting in Vain.
Bob Marley memiliki nama lengkap Robert Nesta Marley Bob Marley seorang
penyanyi, penulis lagu, gitaris dan aktivis Jamaica. Terlahir dengan
nama Robert Nesta Marley pada tanggal 6 Februari 1945 di Nine Miles,
Saint Ann Parish dan besar di lingkungan miskin di Trenchtown, Jamaika.
Bob Marley berayahkan seorang kulit putih dan ibu kulit hitam. Pada
tahun 1950-an Bob beserta keluarganya pindah ke ibu kota Jamaika,
Kingston. Tinggi badannya 172 cm
Di kota inilah obsesinya terhadap musik sebagai profesi menemukan
pelampiasan. Waktu itu Bob Marley banyak mendengarkan musik R&B dan
soul, yang kemudian hari menjadi inspirasi irama reggae, melalui siaran
radio Amerika. Selain itu di jalanan Kingston dia menikmati hentakan
irama Ska dan Steadybeat dan kemudian mencoba memainkannya sendiri di
studio-studio musik kecil di Kingston.
Karier profesional dimulai ketika Bob masih remaja berusia 16an, bersama
dua temannya, Bunny Livingston dan Peter McIntosh (Peter Tosh). Ia
pertama kali rekaman pada tahun 1962, bersama The Teenagers atau yang
juga dikenal sebagai The Wailing Rudeboys. Album perdana mereka keluar
tahun 1963 dengan hit “Simmer Down”. Lirik lagu mereka banyak berkisah
tentang “rude bwai” (rude boy), anak-anak muda yang mencari identitas
diri dengan menjadi berandalan di jalanan Kingston.
The Wailing Wailers bubar pada pertengahan 1960-an dan sempat membuat
penggagasnya patah arang hingga memutuskan untuk berkelana di Amerika.
Tahun 1966, setelah menikahi Rita Anderson. Dan Rita-lah yang
memperkenalkan Bob pada Rastafarianism.
April 1966 Bob kembali ke Jamaika, bertepatan dengan kunjungan HIM Haile
Selassie I —raja Ethiopia– ke Jamaika untuk bertemu penganut Rastafari.
Kharisma sang raja membawa Bob menjadi penghayat ajaran Rastafari pada
tahun 1967, dan bersama The Wailer, band barunya yang dibentuk setahun
kemudian bersama dua personil lawas Mc Intosh dan Livingston, dia
menyuarakan nilai-nilai ajaran Rasta melalui reggae. Penganut Rastafari
lantas menganggap Bob menjalankan peran profetik sebagaimana para nabi,
menyebarkan inspirasi dan nilai Rasta melalui lagu-lagunya.
The Wailers bubar di tahun 1971, namun Bob segera membentuk band baru
bernama Bob Marley and The Wailers. Tahun 1972 album Catch A Fire
diluncurkan. Menyusul kemudian Burning (1973–berisi hits “Get Up, Stand
Up” dan “ I Shot the Sheriff” yang dipopulerkan Eric Clapton), Natty
Dread (1975), Rastaman Vibration (1976) dan Uprising (1981) yang makin
memantapkan reggae sebagai musik mainstream dengan Bob Marley sebagai
ikonnya.
Reggae sendiri merupakan irama musik yang berkembang di Jamaika. Reggae
mungkin membekas di perasaan sebagian besar musik Jamaika, termasuk Ska,
rocksteady, dub, dancehall, dan ragga.
Barangkali istilah pula berada dalam membeda-bedakan gaya teliti begitu
berasal dari akhir 1960-an, apalagi sejak masa kepindahan Bob Marley.
Musik reggae mulai membumi dan dikenal dunia.
Reggae sendiri berdiri di bawah gaya irama yang berkarakter mulut
prajurit tunggakan pukulan, dikenal sebagai "skank", bermain oleh irama
gitar, dan pemukul drum bass di atas tiga pukulan masing-masing ukuran,
dikenal dengan sebutan "sekali mengeluarkan". Karakteristik, ini memukul
lambat dari reggae pendahuluan, ska dan rocksteady.
Namun demikian, kepindahan Bob ke Amerika Serikat tidak bertahan lama.
Dirinya tidak betah. Lantas Bob memutuskan untuk pulang dan memilih
menyempurnakan lagu yang ditulisnya. Tahun 1973 bersama Island Records,
Bob merekam dan merilis Catch a Fire.
The Wailers berkolaborasi dengan Lee Scratch Perry, menghasilkan hit-hit
unggulan seperti Soul Rebel, Duppy Conquerer, 400 Years dan Small Axe.
Kolaborasi tersebut berakhir pahit karena Perry menjualnya di Inggris
tanpa persetujuan the Wailers. Namun peristiwa tersebut berbuah manis,
Chris Blackwell, pemilik Island Records mengontrak the Wailers dan
memproduseri album mereka CATCH A FIRE dan BURNIN.
Album inilah yang menyebarkan demam Reggae ke seluruh dunia. Pada saat
itu Bob mampu memberikan pilihan baru kepada penggemar rock, bahwa dalam
reggae Bob Marley menghadirkan kepercayaan diri, pemberontakan, dan
keadilan.
Akhir yang Tragis
Pada tahun 1976, Bob Marley hijrah ke Inggris. Kreatifitasnya tak
mereda, EXODUS berhasil nangkring di British charts selama 56 minggu.
Kesuksesan ini diikuti album berikutnya, yaitu KAYA. Kesuksesan tersebut
mampu mengantarkan musik reggae ke dunia barat untuk pertama kalinya.
Pada tahun 1977, Bob Marley divonis terkena kanker kulit, namun
disembunyikan dari publik. Bob Marley kembali ke Jamaica tahun 1978, dan
mengeluarkan SURVIVAL pada tahun 1979 diikuti oleh kesuksesan tur
keliling Eropa.
Sampai tahun 1979, Bob jadi orang super sibuk karena turnya laku digelar
di seluruh penjuru dunia dan juga di Madison Square Garden, venue yang
waktu itu jadi barometer buat popularitas seorang artis kelas dunia.
Bob Marley melakukan 2 pertunjukan di Madison Square Garden dalam rangka
merengkuh warga kulit hitam di Amerika Serikat. Namun pada tanggal 21
September 1980, Bob Marley pingsan saat jogging di NYC's Central Park.
Kankernya telah menyebar sampai otak, paru-paru dan lambung. Tim dokter
memastikan bahwa kanker yang mula-mula hanya ada di kaki sudah menjalar
ke mana-mana, mulai dari ke otak, paru-paru, bahkan sampai ke liver.
Penyanyi reggae inipun akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di Miami
Hospital pada 11 Mei 1981 di usia 36 tahun, dengan meninggalkan seorang
istri dan 5 orang anak.
Walaupun telah meninggal, nama Bob Marley seakan tidak pernah lenyap
dari dunia musik, khususnya musik Reggae. Bahkan musik Reggae pun
semakin diterima dunia. Mungkin ini lah salah satu cara yang harus
dilakukan oleh sang dewa Reggae untuk tetap menghidupkan musik Reggae.
Bob Marley, sang legenda reggae, memang pantas menjadi legenda.
Kesadarannya untuk mengajak orang memperjuangkan hak asasi mereka,
kental tertuang dalam petikan salah satu syair lagunya yang sangat
populer. Kesadaran dan kepeduliannya pada persoalan-persoalan
sosial-politik bermetamorfosis dalam lagu-lagu ciptaannya sebagai satu
kekuatan tersendiri yang menggelitik para penggemarnya. Itulah Bob
Marley. Sikap dan perjuangannya jelas. Tak heran jika ada yang menjuluki
Bob Marley sebagai nabinya para rasta, nabinya para reggae atau bahkan
nabinya para pecandu.
Di Indonesia, kita punya Gombloh. Legenda penyanyi jalanan negeri kita
yang tak berumur panjang itu, menggugah semua penggemarnya lewat
lagu-lagu heroik untuk mencintai negerinya.
Sampai kini, lagu Kebyar Kebyar masih kerap berkumandang di
sekolah-sekolah, di kampung-kampung kumuh, atau di lapak-lapak kaki
lima. "Indonesia, merah darahku, putih tulangku, bersatu dalam
semangat...." Syair sederhana yang dinyanyikan dengan tulus ini, tetap
mampu menggetarkan sanubari dan merindingkan jiwa kita. Itulah Gombloh.
Sikap dan perjuanganya juga jelas.
Gombloh memang telah tiada. Bob Marley pun sudah lama hengkang dari
kejamnya dunia. Tapi sikap dan semangat perjuangan mereka terus hidup
dan bisa kita rasakan melalui lagu-lagu mereka. Dan untuk mengubah
kondisi Indonesia saat ini, perpaduan sikap dan semangat perjuangan
Gombloh dan Bob Marley, sangatlah pas. Kita butuh semangat cinta bangsa
cinta negeri yang tulus seperti yang didendangkan Gombloh. Kita juga
perlu semangat keberanian untuk memperjuangkan hak-hak kita seperti yang
dinyanyikan Bob Marley.
Penghargaan sang legenda
Pemerintah Jamaika menyatakan, pihaknya akan mendeklarasikan rumah Bob
Marley di Kingston sebagai sebuah monumen nasional, 25 tahun setelah
kematian legenda reggae itu.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Maxine Henry Wilson, pernah
mengemukakan penghormatan itu diberikan sebagai pengakuan terhadap
segala yang telah dikerjakan Marley untuk mempromosikan tanah airnya di
Karibia di luar negeri.
Pada tahun 1978, Bob Marley pernah menerima Medali Perdamaian dari PBB
sebagai penghargaan atas upayanya mempromosikan perdamaian melalui
lagu-lagunya. Sayang, kanker mengakhiri hidupnya pada 11 Mei 1981 saat
usia 36 tahun di ranjang rumah sakit Miami, AS, seusai menggelar konser
internasional di Jerman. Sang Nabi kaum Rasta telah berpulang, namun
inspirasi humanistiknya tetap mengalun sepanjang zaman.
One Love! One Heart!
Lets get together and feel all right.
Hear the children cryin (One Love!);
Hear the children cryin (One Heart!)
(One Love / People Get Ready)
Marley, yang meninggal dunia akibat kanker di Amerika Serikat pada 1981,
akan genap berusia 62 tahun pada Mei ini. Dikenal sebagai Tuff Gong
International, rumah Marley kini merupakan sebuah studio musik dan
tujuan kunjungan wisata terkemuka bagi para turis.
Marley, yang masih tetap dianggap sebagai salah satu bintang pop musik
paling dikenal, menerima Bintang Jasa (Order of Merit), penghargaan
nasional tertinggi ketiga Jamaika, tak lama setelah kematiannya.
Namun demikian, para pejabat pemerintah telah berulang kali tak
menanggapi seruan agar menjadikan Marley sebagai pahlawan nasional.
Sebagai penganut Rastafarian yang taat, dan seseorang yang menggunakan
marijuana sebagai bagian kepercayaan agamanya, Marley telah lama
berjuang bagi legalisasi dedaunan yang dikenal secara lokal sebagai
ganja.
Belum diketahui secara pasti kapan upacara peresmian Tuff Gong, yang
dalam bahasa slank Jamaika berarti suara keras, menjadi monumen nasional
akan diselenggarakan.(*)
Lahirnya Rambut Gimbal Selain Bob Marley dan Jamaika, rambut gimbal atau lazim disebut
“dreadlocks” menjadi titik perhatian dalam fenomena reggae. Saat ini
dreadlock selalu diidentikkan dengan musik reggae, sehingga secara
kaprah orang menganggap bahwa para pemusik reggae yang melahirkan gaya
rambut bersilang-belit (locks) itu. Padahal jauh sebelum menjadi gaya,
rambut gimbal telah menyusuri sejarah panjang.
Konon, rambut gimbal sudah dikenal sejak tahun 2500 SM. Sosok
Tutankhamen, seorang fir’aun dari masa Mesir Kuno, digambarkan
memelihara rambut gimbal. Demikian juga Dewa Shiwa dalam agama Hindu.
Secara kultural, sejak beratus tahun yang lalu banyak suku asli di
Afrika, Australia dan New Guinea yang dikenal dengan rambut gimbalnya.
Di daerah Dieng, Wonosobo hingga kini masih tersisa adat memelihara
rambut gimbal para balita sebagai ungkapan spiritualitas tradisional.
Membiarkan rambut tumbuh memanjang tanpa perawatan, sehingga akhirnya
saling membelit membentuk gimbal, memang telah menjadi bagian praktek
gerakan-gerakan spiritualitas di kebudayaan Barat maupun Timur.
Kaum Nazarit di Barat, dan para penganut Yogi, Gyani dan Tapasvi dari
segala sekte di India, memiliki rambut gimbal yang dimaksudkan sebagai
pengingkaran pada penampilan fisik yang fana, menjadi bagian dari jalan
spiritual yang mereka tempuh. Selain itu ada kepercayaan bahwa rambut
gimbal membantu meningkatkan daya tahan tubuh, kekuatan mental-spiritual
dan supernatural. Keyakinan tersebut dilatari kepercayaan bahwa energi
mental dan spiritual manusia keluar melalui ubun-ubun dan rambut,
sehingga ketika rambut terkunci belitan maka energi itu akan tertahan
dalam tubuh.
Seiring dimulainya masa industrial pada abad ke-19, rambut gimbal mulai
sulit diketemukan di daerah Barat. Sampai ketika pada tahun 1914 Marcus
Garvey memperkenalkan gerakan religi dan penyadaran identitas kulit
hitam lewat UNIA, aspek spiritualitas rambut gimbal dalam agama Hindu
dan kaum tribal Afrika diadopsi oleh pengikut gerakan ini. Mereka
menyebut diri sebagai kaum “Dread” untuk menyatakan bahwa mereka
memiliki rasa gentar dan hormat (dread) pada Tuhan.
Rambut gimbal para Dread iniah yang memunculkan istilah
dreadlocks—tatanan rambut para Dread. Saat Rastafarianisme menjadi
religi yang dikukuhi kelompok ini pada tahun 1930-an, dreadlocks juga
menjelma menjadi simbolisasi sosial Rasta (pengikut ajaran Rastafari).
Simbolisasi ini kental terlihat ketika pada tahun 1930-an Jamaika
mengalami gejolak sosial dan politik. Kelompok Rasta merasa tidak puas
dengan kondisi sosial dan pemerintah yang ada, lantas membentuk
masyarakat tersendiri yang tinggal di tenda-tenda yang didirikan
diantara semak belukar. Mereka memiliki tatanan nilai dan praktek
keagamaan tersendiri, termasuk memelihara rambut gimbal. Dreadlocks juga
mereka praktekkan sebagai pembeda dari para “baldhead” (sebutan untuk
orang kulit putih berambut pirang), yang mereka golongkan sebagai kaum
Babylon—istilah untuk penguasa penindas. Pertengahan tahun 1960-an
perkemahan kelompok Rasta ditutup dan mereka dipindahkan ke daerah
Kingston, seperti di kota Trench Town dan Greenwich, tempat dimana musik
reggae lahir pada tahun 1968.
Ketika musik reggae memasuki arus besar musik dunia pada akhir tahun
1970-an, tak pelak lagi sosok Bob Marley dan rambut gimbalnya menjadi
ikon baru yang dipuja-puja. Dreadlock dengan segera menjadi sebuah trend
baru dalam tata rambut dan cenderung lepas dari nilai spiritualitasnya.
Apalagi ketika pada tahun 1990-an, dreadlocks mewarnai penampilan para
musisi rock dan menjadi bagian dari fashion dunia. Dreadlock yang
biasanya membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk terbentuk, sejak
saat itu bisa dibuat oleh salon-salon rambut hanya dalam lima jam! Aneka
gaya dreadlock pun ditawarkan, termasuk rambut aneka warna dan “dread
perms” alias gaya dreadlock yang permanen.
Meski cenderung lebih identik dengan fashion, secara mendasar dreadlock
tetap menjadi bentuk ungkap semangat anti kekerasan, anti kemapanan dan
solidaritas untuk kalangan minoritas tertindas.